Periode 2007-2009
   
  WEBSITE RESMI PC IPNU KAB. PEKALONGAN
  Caleg
 
Kepada Yth :
Redaktur Opini Harian Suara Karya
Di _ Tempat

MANTAN AKTIFIS MAHASISWA MENJADI CALEG
 Oleh : Eko Setio Budi

    Masuknya beberapa mantan aktifis  gerakan mahasiswa menjadi calon legeslatif (caleg) dari Partai Golkar ternyata banyak menuai kritik dari berbagai elemen gerakan mahasiswa. Mereka menilai bahwa para mantan aktifis mahasiswa yang menjadi caleg Partai Golkar tidak konsisten dengan garis perjuangannya dan telah mengadaikan moral gerakannya, karena mereka dulu sangat  getol melakukan aksi menuntut pembubaran Partai Golkar, tetapi sekarang justru menjadi bagian di dalamnya.
    Sebagaimana di ketahui dalam daftar caleg DPR RI dari Partai Golkar banyak terdapat nama-nama mantan aktifis gerakan mahasiswa seperti, Nusron Wahid, Syaiful Bahri dan Ratu Dian Latifah yang mantan aktifis PMII. Barita Simanjuntak dari GMKI, Lutfi Iskandar pendiri Forkon, Ahmad Doly Kurniawan dan Teuku Ansyari dari HMI, Fitus Morin dari GMNI dan David Pajung dari PMKRI.
    Kritik atas mereka yang menjadi caleg tentunya harus dilihat dalam perspektif yang lebih universal, sehingga tidak menjadi kritik individu dan mempunyai kecenderunagn untuk melakukan pembunuhan karakter individu. Kalau kita mau jujur sebenarnya mantan-mantan aktifis mahasiswa banyak tersebar di berbagai partai politik, tidak hanya di Partai Golkar. Bahkan elit-elit partai politik yang saat ini duduk di senayan adalah para mantan aktifis mahasiswa, seperti Akbar Tandjung yang mantan Ketua Umum PB HMI, Muhaimin Iskandar Yang mantan Ketua Umum PB PMII dan tentunya masih banyak lagi yang lainnya. Hal ini mengambarkan bahwa sebenarnya elemen gerakan mahasiswa memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap eksistensi partai politik.
Tetapi mengapa kritik yang muncul akhir –akhir ini hanya melihat mereka yang menjadi bagian dari Partai Golkar, kenapa mantan aktifis mahasiswa yang tersebar di berbagai partai politik yang lain luput dari pemotretan ?  Pada sisi lain kritik tersebut justru mengambarkan terjadinya dikotomi gerakan mahasiswa, yaitu gerakan mahasiswa yang bermoral dan gerakan mahasiswa yang tidak bermoral. Untuk menguatkan pendapat ini akan coba di kemukakan beberapa argumentasi.
Pertama, mereka melihat bahwa  masa lalu Partai Golkar adalah mesin politik rezim orde baru yang sangat otoriter dan cenderung membungkam kelompok-kelompok pro demokrasi khususnya dari elemen mahasiswa. Sehingga tindakan represif, penagkapan, stigma PKI dan penculikan acap kali harus di terima oleh para aktifis mahasiswa waktu itu karena di nilai melawan negara dan menganggu stabilitas pembangunan. Pengalaman masa lalu gerakan mahasiswa di zaman orba ini telah di jadikan sebagai doktrin pengkaderan di semua elemen gerakan mahasiswa, dengan harapan akan tumbuh elan perlawanan dan selalu bersifat kritis terhadap negara (baca : pemerintah), sehingga pengalaman masa lalu tersebut sekarang telah menjadi memory kolektif di gerakan mahasiswa. Tetapi kondisi saat ini sudah jauh berbeda, ketika kran demokrasi mulai di buka dan penyampaian pendapat di muka umum melalui aksi demontrasi sudah menjadi satu hal yang biasa. Pada sisi lain kekuasaan negara (pemerintah) saat ini tidak lagi dikendalikan oleh rezim yang otoriter, tetapi dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan modal internasional yang mengunakan kebijakan negara sebagai instrumen untuk melakukan hegemoninya. Dan kita semua tahu bahwa DPR dengan fungsi legeslasinya mempunyai peran yang dominan untuk membatasi pergerakan modal global dengan membuat kebijakan-kebijakan yang tentunya berpihak kepada masyarakat. Dan untuk menjadi anggota DPR tentunya harus   melalui mekanisme pemilu yang dalam hal ini melibatkan partai politik dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) .  sebagaimana di ataur dalan UU NO 12 Tahun 2002 Tentang Pemilihan Umum. Dengan argumentasi ini, maka satu pilihan yang setrategis jika para mantan aktifis mahasiswa mengambil pilihan dengan menjadi anggota legeslatif untuk mengimplementasikan nilai-nilai perjuangan yang didapatkannya selama menjadi aktifis mahasiswa, karena inilah jalan yang paling konstitusional untuk mewujudkan komitmen perjuangannya.
Kedua, partai politik adalah salah satu pilar demorasi. Kenyataan ini mengharuskan bahwa untuk mewujudkan Indonesia yang benar-benar demokratis maka salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menjadi bagian dari partai politik. Dalam konteks ini maka akan berlaku secara universal terhadap semua partai politik, sehingga kita tidak bisa mengatakan bahwa salah satu partai mempunyai kecenderungan untuk  menghambat proses demoratisasi, terlepas dari kondisi apapun partai politik tersebut. Kenyataan ini mungkin menjadi argumentasi setrategis kedua bagi para mantan aktisis yang sekarang terlibat aktif di partai politik untuk kembali meneguhkan komitmen demokratisasi di Indonesia, tak terkecuali di Partai Golkar.
Ketiga, masuknya para mantan aktifis mahasiswa di pentas politik nasional dengan menjadi caleg, secara tidak langsung mengambarkan bahwa sebenarnya didalam pergulatan gerakan mahasiswa sarat dengan gerakan-gerakan politik, bukan sebagai gerakan moral sebagaimana yang banyak di pahami sekarang. Maka hal ini justru membantah kritik yang dilontarkan kepada para mantan aktifis yang menjadi caleg dengan mengatakan bahwa mereka telah mengadaikan moralnya, karena sebenarnya mereka juga sedang melakukan praktek-praktek politik tetapi dalam bentuk gerakan ekstra parlementar bukan dalam bentuk politik praktis di parlemen.
***
Terlepas dari itu, nampaknya kritik terhadap gerakan mahasiswa memang sudah menjadi ibadah ritual di gerakan mahasiswa dari waktu ke waktu, tentunya dalam rangka melakukan dialektika untuk menemukan format gerakan mahasiswa yang ideal. Gerakan mahasiswa tahun 1908, 1928, 1966, 1974, 1978 dan 1998 adalah proses panjang sejarah gerakan  mahasiswa untuk menemukan format idealnya, dan didalamnya selalu menuai kritik tajam.
Contohnya adalah terbentuknya Badan Kerja Sama Pemuda-Militer (BKSPM) yang terbentuk tahun 1957, adalah bentuk infiltrasi politik ABRI, yang waktu itu  itu mulai menunjukkan sifat kohesinya yang kuat dalam kehidupan politik, sebagai respon atas pertentangan ideologi, sehingga melirik mahasiswa sebagai kelompok independen untuk menjadi mitra untuk menumbangkan Presiden Soekarno pada waktu itu.  Pasca tumbangnya Presiden Soekarno, nyata-nyata banyak mantan aktifis mahasiswa yang menjadi bagian dari kekuasaan dimasa pemerintahan Presiden Soeharto dengan menjadi asisten menteri dan anggota DPR/MPR maupun di pos-pos birokrasi yang lainnya. Dan gerakan mahasiswa tahun 1974/1975 yang melakukan pembakaran produk-produk Jepang di Indonesia,  yang terkenal dengan Malari, sebenarnya hanyalah akibat dari pertarungan antara AS dan Jepang untuk memperebutkan pasar di Indonesia. Ataupun gerakan mahasiswa pada tahun 2001 pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang terbelah menjadi dua, yaitu gerakan mahasiswa yang pro Gus Dur dan anti Gus Dur, yang kemunculannya sebagai imbas pertarungan politik maha tinggi di pentas politik nasional saat itu yang melibatkan dua aras kekuasaan yaitu eksekutif dan legeslatif.
Berbagai kritik terhadap gerakan mahasiswa dalam peran kesejarahannya sebagaimana tersebut di atas, harus di lihat dalam perspektif universalitas demi kemaslahatan bersama, maka sangat tidak elegan jika masuknya beberapa nama caleg Partai Golkar yang notabene adalah mantan aktifis mahasiswa harus menuai kritik individualistik karena sebenarnya masuknya mereka adalah salah satu perwujudan diaspora gerakan di semua lini dan segmen gerakan di Indonesia.
Dan Meminjam istilah Ben Anderson dalam bukunya Revolusi Pemuda,  mengenai peran pemuda yang sangat besar dalam menentukan masa depan sebuah bangsa. Dimana dalam peran ini mahasiswa menjadi bagian didalamnya. Selain itu adanya pepatah Arab yang berbunyi “Syubhanul yaum rijaalul ghoddi (Pemuda Sekarang Adalah pemimpin masa depan)”. Kedua hal ini paling tidak bisa menjadi landasan epistimologi bagi aktifis gerakan mahasiswa maupun mantan aktifis gerakan mahasiswa untuk meneguhkan komitmen perjuangannya didalam medan perjuangan apapun, baik ormas, partai politik, legeslatif, eksekutif maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Penulis adalah Wakil Sekjen Pengurus Besar  Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) Sedang Magang di CSIS Jakarta
Alamat : Salemba Tengah 57A Jakarta Pusat. Telp : 021-3905933
No Rek BCA : 3540118140 an Suyono HS.BCA KCP Cepu
 
  Today, there have been 1 visitors (2 hits) on this page! Pengelola Abdullah zaeni 085640011007-7878281  
 
http:www.ipnupekalongan.page.tl This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free