Kepada Yth :
Redaktur Opini Koran Tempo
Di – Jakarta
SALAHKAH PURNAWIRAWAN TNI BERPOLITIK ?
Oleh : Eko Setio Budi
Ditengah giat-giatnya kampanye Paradigma Baru TNI, sebagai wujud untuk melakukan redefinisi, reposisi dan reaktualisasi atas perannya dimasa lalu, sekarang kita dikejutkan oleh banyaknya para jenderal purnawirawan TNI yang berkeinginan untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Sampai hari ini, paling tidak tercatat empat purnawirawan jenderal TNI yang berkeinginan untuk menduduki jabatan RI-1 lewat pemilu 2004 mendatang. Mereka adalah Jenderal (Purn) Wiranto, Letjen (Purn) Prabowo Subianto yang keduanya maju melalui Konvensi Golkar, Letjen (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono yang dicalonkan oleh Partai Demokrat dan Letjen (purn) Agum Sumelar yang semula mendaftarkan diri di Konvensi Golkar, namun akhrirnya dengan tegas beliau mengundurkan diri dari Konvensi Golkar.
Keinginan untuk menduduki jabatan RI-1 yang dilakukan oleh mantan jenderal ini menarik untuk dikaji, karana dalam sejarah perpolitikan di Indonesia, baru kali terdapat satu orang calon lebih yang berasal dari unsur militer. Bagaimanapun juga, Sapta Marga dan Sumpah prajurit akan tetap dipegang teguh oleh semua anggota kesatuan TNI, baik Angkatan darat, Laut dan Udara, sejak yang bersangkutan secara difinitif terdaftar sebagai anggota TNI sampai akhir hayatnya. Sehingga masa pensiun (Baca Purnawirawan) secara moral dan struktural masih terikat oleh dua hal tersebut. Melihat fenomena banyaknya para purnawirawan jenderal yang berkeinginan menduduki RI-1, lantas sikap apa yang akan diambil Jenderal TNI Endiartono Sutarto selaku Panglima TNI dan Mabes TNI di Cilangkap, selaku institusi tertinggi di struktur TNI ?
BY Desain
Fenomena tersebut tentunya banyak menimbulkan asumsi dan pertanyaan di masyarakat, bahwa majunya para purnawirawan ini adalah bagian dari program kerja Mabes TNI untuk kembali ke panggung politik (baca by desain). Sebagaimana yang kita ketahui bersama, semenjak jatuhnya pemerintahan orde baru yang menempatkan TNI sebagai satu pilar penopang kekuasaanya, banyak tuntutan dimasyarakat agar TNI melakukan reposisi, redeefinisi dan reaktualisasi. Asumsi bahwa ini adalah by desain tentunya karena adanya beberapa indikator-indikator, antara lain, pertama, dari ke-empat purnawirawan tersebut adalah berasal dari kesatuan angkatan darat (AD), dan sejarah mencatat bahwa semenjak demokrasi terpimpin (1959-1965) Angkatan Darat telah mulai masuk kewilayah politik praktis dan atas dasar dan argumentasi untuk menjaga keamanan, ketenangan dan stabilitas jalannya pemerintahan, berhasil menghantarkan Jenderal. Soeharto menduduki kursi RI-1. Kedua, masih banyaknya para purnawirawan TNI yang menjabat sebagai kepala daerah baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota Jabatan sebagai gubernur atau bupati diharapkan akan memudahkan dan membantu jalannya kampanye para capres yang masih berasal dari keluarga besar TNI. Hal ini diperkuat dengan masih dipertahankannya gubernur lama yang berasal dari TNI untuk menduduki jabatan periode berikutnya, sebagaimana yang terjadi di Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI), Jawa Timur Dan Jawa Tengah.
Ketiga, diakui atau tidak, setelah TNI melakukan reposisi, banyak para purnawirawan TNI yang mengaktualisasikan pemahaman politiknya dengan melakukan diaspora ke berbagai partai politik baik partai besar atau kecil. Jabatan-jabatan setrategis dan kewengan untuk turut mengambil kebijakan partai politikpun telah banyak dimiliki oleh para purnawirawan TNI. Sehingga dengan diaspora tersebut, maka kemungkinan untuk melakukan koalisi antar partai sangat terbuka lebar, koalisi yang tentunya diarahkan untuk menghantarkan capres dari purnawirawan TNI untuk meraih kemenangan pada pemilu 2004 mendatang.
Kalau asumsi ini benar, maka tentunya pada saat-saat terakhir proses pemilu nanti Mabes TNI di Cilangkap tentunya akan mengambil sikap tegas untuk mengeluarkan kebijakan dan memberikan dukungan politiknya pada salah satu diantara para jenderal purnawirawan yang berkehendak untuk menduduki jabatan RI-1.
Euforia Demokrasi
Asumsi kedua adalah bahwa majunya para jenderal purnawirawan tersebut adalah merupakan hal yang wajar, karena bagaimanapun proses transisi demokrasi akan berimplikasi pada sikap eforia demokrasi setiap warga negara sebagaimana yang ditunjukkan oleh mereka. Karena transisi demokrasi yang sedang berjalan ini, tentunya tidak menutup peluang siapapun untuk berperan didalamnya dan dalam bidang apapun. Termasuk peran untuk membangun bangsa dan negara dengan menduduki kursi RI-1. Posisi ini tentunya menjadi hak bagi semua warga negara Indonesia tak terkecuali TNI sendiri.
Elit politik kita saat ini tentunya masih memandang bahwa TNI merupakan salah satu pilar kekuatan bangsa dan negara. Karena tanpa fungsi pertahanan dan keamanan TNI, negara akan selalu dibayang-bayangi oleh ancaman disintegrasi dan keamanan baik yang datang dari dalam maupun luar negeri. Dan semua lapisan masyarakat mengakui bahwa TNI yang masih aktif maupun yang purnawirawan akan selalu mewarisi nilai-nilai integralistik dan komitmen kebangsaan yang luar biasa. Dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya, maka parat politik tentunya akan menyambut dengan baik keterlibatan para purnawirawan untuk bergabung dalam salah satu partai politik. Selain itu bergabungnya para purnawirawan TNI kedalam partai politik, akan memberi warna tersendiri bagi corak berpolitik partai. Karena karakter, mentalitas dan komitmen para purnawirawan yang telah terdidik dalam proses pengkaderan di TNI, akan memberikan pengalaman tersendiri bagi para politisi sipil. Dengan pengalaman-pengalaman tersebut, para purnawirawan akan memiliki bargaining yang tinggi dihadapan para politisi sipil, dan signifikan untuk turut mengambil kebijakan-kebijakan partai, termasuk untuk mencalonkan diri menjadi capres melalui partai politik tertentu.
Berdasarkan pada asumsi ini, maka pemahaman transisi demokrasi menuju Indonesia Baru, bagi Mabes TNI Cilangkap selaku institusi tertinggi TNI tentunya tidak memiliki kewenangan untuk melarang para purnawirawan TNI yang berkehendak menduduki kursi RI-1. karena sikap melarang sama artinya dengan membatasi potensi seseorang. Kalau memang hal ini menjadi satu pilihan sikap Mabes TNI, maka sikap untuk netral, tidak ikut andil dan mencampuri urusan para jenderal purnawirawan yang sudah beratualisasi di wilayah politik adalah pilihan sikap yang terbaik.
***
Terlepas dari persoalan diatas, tidak bisa dipungkiri bahwa peran pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Hankamrata) telah menempatkan unit pertahanan dari atas sampai unit pertahanan terendah yaitu desa/kelurahan dan telah melibatkan rakyat secara langsung didalamnya. “Sistem pertahanan seperti itu terbukti telah sukses mengagalkan Agresi Militer Belanda II, Desember 1948, Jenderal Sudirman dan wakilnya, Kolonel A.H.Nasution, bergerilya bersama pasukannya dan berhasil menahan aksi militer Belanda. Keberadaab TNI dan sekaligus keberadaan Republik Indonesia pun bisa dipertahankan”. (Supremasi Sipil ?, Elst Reba)
Dengan peran hankamrata, maka mengharuskan TNI untuk mengetahui semua dinamika yang terjadi dimasyarakat, termasuk dinamika yang diakibatkan dari polarisasi politik. Sehingga dalam menjalankan tugasnya TNI harus paham betul persoalan-persoalan politik agar bisa mengevaluasi dan menganalisa semua perkembagan politik sehingga dapat mengatisipasi semua gerakan yang akan menggangu kedaulatan rakyat. Bahkan pada tingkat elit TNI ada keharusan untuk berinteraksi langsung dengan politik, tidak sebagai pemain tetapi sebagai kelompok kepentingan yang mempunyai wewenang untuk mempengaruhi dan mengawasi pengambilan keputusan, hal ini akan sekaligus menegaskan peran politik TNI secara fungsional bukan secara struktural. Dan semua ini dilakukan tentunya dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Sebagaiman yang ditegaskan TNI sendiri dalan doktrinya Catur Darma Eka Karma (CEDAK) yang menghendaki agar TNI menjadi insan sosial, politik dan budaya yang baik.
Sebagaimana disebut Indria Samego dalam TNI Di Era Perubahan, “bahwa TNI sebagai the guardian of the state, jelas bahwa TNI harus melindunggi kepentingan rakyat secara keseluruhan”. Maka dalam rangka transisi demokrasi menuju Indonesia baru TNI harus tetap berdialektika dengan semua lapisan dan komponen masyarakat dan kekuatan sosial politik lain, karena dengan dialektikalah mereka bisa mentranformasikan etika, norma dan dislipin militer kepada publik. Dan dengan komunikasi semacam inilah maka, publik bisa menilai bahwa cara berpolitik TNI adalah dengan tata krama politik. Selain itu akan mampu menumbuhkan rasa kebersamaan diantara komponen bangsa dan kesempatan yang sama untuk membangun visi dan platform perjuangan bersama kedepan. Karena bagaimanapun sejarah bangsa Indonesia tidak pernah mengenal yang namanya supremasi sipil, tetapi yang ada adalah supremasi rakyat, yang menempatkan kedaulatan di tangan rakyat dan rakyatlah yang berkuasa, sebagaiman yang dicita-citakan oleh para founding father kita dalam menyusun UUD 1945.
Penulis adalah Pemerhati Masalah Sipil-Militer Dan Dewan Pendiri Perhimpunan Perdikan Semarang
Alamat : Tarukan RT 02/V candi Ambarawa - Kab. Semarang - Jawa Tengah
No Rek BCA : 3540118140 an Suyono HS, BCA KCP Cepu
Mobile : 08156623395